Senin, 03 Agustus 2015

MEDIA BIMBINGAN DAN KONSELING

SKENARIO FILM PENDEK

Disebuah desa terpencil yang jauh dari kota, tinggalah keluarga yang sederhana dengan kondisi rumah yang memperihatinkan. Rumah yang hanya terbuat dari bambu dengan beralaskan tanah liat. Di rumah itu hanya ditinggali seorang ayah yang pekerja keras dalam menghidupi ketiga putrinya yang bernama Anisa, Via dan yang paling bungsu Rara. Pak Ahmad begitulah panggilan ayah mereka. Sehari-hari beliau bekerja sebagai pembersih sekolah di sebuah SMP yang menjadi tempat Anisa menuntut ilmu. Sang fajar mulai menampakan sinarnya.
Ayah               : Nak, Nak.. ayo bangun sudah pagi waktunya kalian siap-siap ke sekolah.
Anak-anak       : (mengusap mata) hmmm.. iya ayah
Beberapa saat kemudian, setelah mereka selesai mandi dan siap untuk berangkat ke sekolah, tiba-tiba ayah memanggil..
Ayah                           : Anisa, Via, Rara. Ayah sudah buatkan makanan buat kalian. Ya meskipun makanan hanya sederhana, ayah harap kalian suka ya?
Anisa                           : Tidak apa-apa yah, meskipun hanya nasi dan tempe goreng sudah cukup untuk mengisi perut kami pagi ini.
Ayah               : Alhamdulilah ayah lega. Ayo kita makan..
Setelah makan, mereka pun berangkat ke sekolah. Anisa duduk dibangku SMP yang jaraknya yang cukup jauh dari rumahnya. Sedangkan Via dan Rara sekolah di balai desa yang diadakan oleh penduduk setempat. Sesampai di sekolah Anisa pun masuk ke kelas. Kemudian bel masuk berbunyi
“Tet... tet.. tet....”
Dan guru mata pelajaran pun mulai masuk ke kelas.
Pak Agus         : Selamat Pagi anak-anak...
Murid-murid   : Selamat pagi, Pak. (serentak menjawab)
Pak Agus         : Bagaimana kabar kalian hari ini?
Murid-murid   : Alhamdulilah baik pak...
Pak Agus         : ya Alhmdulilah. Baik mari kita mulai saja pelajaran hari ini. Coba keluarkan buku bahasa indonesia.
(murid-murid lalu mengeluarkan buku pelajaran bahasa indonesia). Pak Ahmad mulai menerangkan materi pelajaran bahasa indonesia dan semua siswa mendengarkan dengan seksama. Tak lama beberapa jam kemudian, bel istirahat pun berbunyi..
“Tet... tet.. tet....”
Anisa bersiap-siap menuju ke kantin. Tetapi tiba-tiba segerombolan geng yang suka membuat onar di sekolah menghampiri Anisa.
Udin                : hai, anak tukang sapu. Jangan sok pintar kamu. Sukanya cari muka depan guru.
Anisa               : Maksudnya apa??? Aku gak ngerti..
Jaka                 : Kamu jangan sok sok gak tahu deh. Kamu gak tahu siapa kita. Coba mey kamu jelasin sama anak tukang sapu ini.
Mey                 : kita ini anak-anak dari orang-orang kaya. Dan kamu Cuma anak tukang sapu yang miskin. Dan kamu sebenarnya tidak pantas sekolah disini, kamu itu pantasnya jadi tukang sapu juga kayak ayah kamu itu.
Tiba-tiba Joni datang menghampiri Anisa yang dihina oleh geng Boran.
Joni                  : Aa.. dada.. apa i niii...???
Jaka                 : Nih lagi satu, udah culun gagap lagi sok sok belain. Emang kamu siapanya??
Joni                  : (Diam dan menundukkan kepala)
Udin                : sudah, sudah.. percuma ngomong sama anak-anak kampung yang gak penting kayak mereka.
Geng Boran pun menuju ke kantin. Tak lama kemudian, bel masuk pun berbunyi. Pelajaran selanjutnya segera dimulai, murid-murid mengikuti dengan tertib.

sesampai dirumah, Anisa mulai membuat jajanan kue yang akan dijajakan disekitar rumahnya dengan dibantu adiknya Via dan Rara. Setelah jajanan selesai dibuat, Anisa mengajak Rara untuk berjualan.
Rara                 : Gorengan... gorengan, siapa yang mau beli mumpung masih hangat. Gorengan-gorengan...
Bu Siti


Minggu, 02 Agustus 2015

DASAR-DASAR BIMBINGAN DAN KONSELING



Dasar Proses Konseling

Konseling merupakan suatu hubungan bantuan yang  tidak bersifat “hanya sekali” atau “sekali jadi”., akan tetapi konseling merupakan suatu proses dimana hubungan ini berjalan atau  berkembang secara progresif, yaitu dari tahap awal hingga tahap akhir.  Banyaknya teori tentang tahapan tentang pelaksanaan proses konseling, secara umum konseling berjalan melalui tahapan-tahapan berikut. 1) pengembangan hubungan, 2) asesmen, 3) perumusan tujuan, 4) pemilihan dan implementasi teknik atau strategi intervensi, dan 5) evaluasi, terminasi dan tindak lanjut.

1.     Pengembangan hubungan  : merupakan tahap awal dari suatu proses konseling. Pengembangan hubungan dimulai sejak konselor menerima konseli pertama kali tanpa memperhatikan apakah konseli datang secara sukarela, berdasar undangan konselor, atau berdasar pada undangan pihak ketiga. Pengembangan hubungan biasanya disebut sebagai aliansi teraupetik atau pengembangan rapport. Rapport mengimplikasikan suatu  bentuk hubungan  yang kondusif atau fasilitatif bagi proses pemecahan masalah dalam konseling.  Kondisi ini ditandai dengan kesediaan konseli untuk membuka diri. Pada pengembangan hubungan ini konsistensi sikap dan perilaku konselor merupakan suatu kualitas yang penting, karena hal ini akan menjadi suatu penilaian terhadap sikap dan perilaku konselor. 

2.     Asesmen : tahapan ini konselor mengumpulkan dan mengolah informasi dengan menggunakan berbagai prosedur dan alat sebagai dasar untuk memahami konseli. Kompetensi yang dibutuhkan oleh konselor dalam melakukan asesmen adalah teknik dan prosedur yang pengumpulan data tes dan non tes serta teknik analisis statistik dan kualitatif. Selain itu konselor juga perlu memiliki pengetahuan yang baik tentang berbagai perspektif teoritis tentang perilaku dan gangguan perilaku agar dapat mengembangkan hipotesis masalah konseli dengan tepat. Proses asesmen melibatkan beberapa ketrampilan khusus, termasuk didalamnya observasi, inkuiri, menghubungkan antara fakta-fakta, merekam informasi, dan mengembangkan hipotesis.

3.        Perumusan tujuan : tahapan ini merupakan tahap merepresentasikan apa yang diharapkan konseli dari proses konseling sekaligus arah proses konseling. Konselor diwajibkan memiliki tiga keterampilan dalam membantu konseli untuk dapat menentukan tujuan dari pelaksanaan konseling. Tiga keterampilan tersebut adalah sebagai  berikut a)keterampilan inferensial yaitu kemampuan untuk dapat menangkap dengan jelas pesan-pesan konseli dan kemudian memikirkan sikap dan perilaku alternatif, hal ini dapat dilakukan walaupun ketika konselor juga mendengarkan konseli mengutarakan permasalahannya, b) kemampuan untuk mendeferensiasikan, yaitu kemampuan untuk membedakan antara tujuan jangka panjang, menengah, dan pendek. Serta c) keterampilan yang ketiga adalah kemampuan untuk membantu konseli agar dapat berpikir secara realistik dalam menetapkan tujuan-tujuan. Realistik disini bermakna tujuan tersebut garus dapat dicapai konseli, dimana konseli dalam hal ini harus memiliki sumber internal dan eksternal yang memungkinkan dalam pencapaian tujuan. Pencapaian tujuan juga harus dinyatakan secara spesifik  dalam bentuk perilaku operasional.

4.    Pemilihan dan implementasi teknik atau strategi intervensi : Pada tahapan ini konselor  harus dapat berpikir secara obyektif guna menemukan strategi yang efektif dan tidak kaku, bahkan memaksakan dengan preferensi teoritiknya. Pemilihan strategi ini dilakukan berdasarkan karakteristik permasalahan konseli.

5.        Evaluasi, terminasi dan tindak lanjut : tahap terakhir adalah evaluasi yaitu melakukan asesmen terhadap keefektifan intervensi, baik dalam proses maupun hasil. Evaluasi ini akan sangat membantu dalam menentukan kapan konseling akan diakhiri dan direncanakan strategi baru bila strategi yang awal tidak efektif dalam membantu konseli untuk menyelesaikan masalahnya.

Proses konseling akan dapat berjalan dengan baik, maka konselor sebagai pelaksana  harus memiliki  keterampilan konseptual (penguasaan teori-teori), keterampilan interpersonal, dan keterampilan teknis.

            Karakteristik konselor sangat memberikan pengaruh pada keefektifan proses konseling. Eisenberg dan Delaney (1977) mengemukakan ciri-ciri konselor yang efektif sebagai berikut.
1.        Terampil mendapatkan keterbukaan.
2.        Dapat membangkitkan rasa percaya, kredibilitas, dan keyakinan dari konseli.
3.        Mampu menjangkau wawasan yang lebih luas.
4.        Berkomunikasi dengan hati dan menghargai orang yang dibantu (konseli)
5.        Memiliki penghargaan terhadap dirinya sendiri dan tidak menyalahgunakan konseli untuk memuaskan kebutuhan pribadinya.
6.        Mempunyai pengetahuan dalam bidang keahlian yang dimiliki oleh konseli.
7.        Senantiasa berusaha memahami tingkah laku konseli, bukan menghakimi.
8.        Memiliki penalaran dan pola pikir yang sistematis.
9.        Berpandangan mutakhir dan mempunyai wawasan tentang peristiwa kehidupan.
10.    Mampu mengidentifikasi pola tingkah laku yang merusak diri dan membantu konseli merubahnya menjadi pola tingkah laku yang memuaskan.
11.    Terampil membantu konseli agar dapat memahami diri.


Kondisi yang memfasilitasi  hubungan konseling agar dapat mengefektifkan proses konseling adalah
1.        Empati : kemampuan untuk memahami  individu dari kerangka acuan individu tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menunjukkan empati verbal yaitu:  menunjukkan keinginan untuk memahami, membicarakan apa yang penting bagi konseli, menggunakan respon verbal yang berkenaan dengan  perasaan konseli, serta menggunakan respon verbal untuk menyatakan pesan konseli secara implisit.
2.        Keaslian atau ketulusan (Genuinesses), keaslian disini dimaknai sebagai menjadi diri sendiri dan dilaksanakan dengan ketulusan. Ketulusan terdiri atas lima komponen yaitu perilaku non verbal (kontak mata, senyuman, dan posisi duduk antara konselor dan konseli), tindakan yang berkaitan dengan peran atau kedudukan, kongruensi (kekonsistenan antara kata-kata, tindakan, dan perasaan), spontanitas (kemampuan mengekspresikan diri secara natural tanpa perilaku yang dibuat-buat), keterbukaan (mampu membuka diri dan berbagi)
3.        Respek atau penghargaan positif (Positive Regard), kemampuan untuk menghargai konseli sebagai individu yang berharga dan bermartabat. Positif regard  ini dapat berbentuk  komitmen, pemahaman, sikap yang tidak menghakimi, dan kehangatan merupakan  suatu kedekatan psikologis antara konselor dan konseli yang ditandai adanya kontak mata, perasaan bersahabat, ramah, mudah tersenyum.



ATTENDING

Attending merupakan perhatian penuh konselor atau terapis  kepada konseli yang dihadapinya, ditandai oleh adanya keterlibatan kognitif dan emotif konselor dengan situasi konseling yang tampak berupa tingkah laku seperti menghadap dan melihat konseli atau mendekati konseli. (Andi Mappiare A. T, 2006)

Menurut Carkhuff, attending adalah melayani  secara pribadi yang menekankan  pentingnya konselor untuk menghadapi konseli secara penuh dengan menghadap secara tepat pada konseli, condong ke depan mengarah pada konseli, dan mengadakan kontak mata dengan konseli.

Perilaku  attending  disebut sebagai perilaku penampilan yang mencakup komponen kontak mata, bahasa badan, dan bahasa lisan (verbal dan non verbal). Perilaku attending atau penampilan yang baik merupakan kombinasi ketiga komponen tersebut akan memudahkan konselor untuk dapat membuat konseli terlibat pembicaraan dan terbuka. Penampilan yang baik dapat mendorong : meningkatkan harga diri konseli, menciptakan suasana yang aman, dan dapat mempermudah ekspresi perasaan konseli dengan bebas.

Perilaku attending yang baik dan dapat mengefektifkan proses konseling adalah sebagai berikut :
a.    Kepala : melakukan anggukan ketika setuju.
b.    Muka   : ekspresi wajah tenang, ceria, dan tersenyum
c.    Posisi tubuh : agak condong ke arah  konseli, jarak konselor dan konseli agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
d.   Tangan : Menggunakan gerakan tangan secara spontan dan berubah-ubah, menggunakan tangan sebagai variasi isyarat, menggunakan gerakan tangan untuk menekankan ucapan.
e.    Mendengarkan : aktif penuh perhatian, menunggu ucapan konseli hingga selesai, diam (menanti saat kesempatan bereaksi), dan perhatian terarah pada lawan bicara.
Sedangkan penampilan perilaku attending yang tidak baik adalah :
a.    Kepala : kaku
b.    Muka : kaku, ekspresi wajah melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat konseli bicara, dan mata melotot.
c.    Posisi tubuh : tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan konseli menjauh, duduk kurang akrab dan berpaling.
d.   Mendengarkan : Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi kesempatan konseli untuk berpikir dan berbicara.
e.    Perhatian : terpecah, mudah buyar oleh gangguan dari luar.

Perilaku attending yang ditampilkan  konselor akan mempengaruhi kepribadian konseli, yaitu:
1.    Meningkatkan harga diri konseli.
2.    Perilaku attending dapat  menciptakan suasana aman bagi konseli.
3.    Memberikan keyakinan kepada konseli bahwa konselor adalah tempat dia mudah untuk mencurahkan segala isi hati dan perasaannya.



KETERAMPILAN BIMBINGAN DAN KONSELING



Acceptance (Penerimaan)

            Sebuah proses konseling akan dapat berjalan dengan baik, ketika ada penerimaan (acceptance). Sikap Acceptance mengacu pada sikap dasar dan sekaligus teknik komunikasi interview konseling, pada tataran afeksi digunakan untuk menunjuk pada sikap dasar konselor untuk menerima keadaan konseli tanpa syarat, tanpa penilaian, tanpa kritik namun buka berarti menyetujui dan bukan pula berarti tidak menyetujui.

            Pada tataran perilaku, penerimaan menunjuk pada teknik verbal dan nonverbal (misalnya: anggukan, senyuman, postur, dan gestur) yang mengekspresikan minat konselor pada konseli, dan dalam memahami apa pesan yang dikomunikasikan oleh konseli.

Contoh teknik verbal penerimaan konselor :
“Saya siap mendengarkan cerita anda”

Contoh teknik non verbal penerimaan konselor :
Dengan menganggukkan kepala, diikuti ucapan “ehem...”,” ya...”, “lalu...”

Kegiatan keterampilan penerimaan ini bertujuan agar konselor dapat menunjukkan sikap menerima konseli apa adanya.



Listening (Mendengarkan)

Bagian terpenting dalam proses konseling adalah komunikasi. Kegiatan komunikasi terdiri atas dua hal yaitu mendengarkan dan berbicara. Mendengarkan adalah kegiatan yang boleh dikatakan sepertinya tergolong mudah, akan tetapi pada dasarnya kegiatan mendengarkan ini tingkat kesulitannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan  berbicara. Mendengarkan adalah suatu proses yang sangat aktif untuk merespon pada keseluruhan pesan. Mendengarkan merupakan prasyarat bagi konselor untuk dapat memberikan respon atau strategi yang tepat dalam suatu proses konseling. Kesalahan besar yang akan terjadi ketika konselor tidak dapat menjadi pendengar yang tepat antara lain adalah sebagai berikut konseli tidak akan dapat melakukan eksplorasi diri, masalah yang dibicarakan tidak tepat, dan pemilihan strategi konseling yang tidak sesuai.

Proses mendengarkan dapat distrukturisasi dengan melihat kemampuan mengingat kita secara harfiah terhadap ekspresi seseorang. Memperhatikan ekspresi-ekspresi ini akan mempermudah dalam mencoba mengulang pesan yang telah didengar konselor. Proses pemberian bantuan secara verbal bergantung pada kemampuan kita untuk memperhatikan serta pengolahan terhadap isi dan perasaan dari ekspresi konseli.

Cormier & Cormier (1985), ada tiga proses dalam mendengarkan, yaitu penerimaan pesan, pengolahan pesan, dan penyampaian pesan. Setiap pesan dari konseli baik verbal maupun non verbal, merupakan stimulus yang akan diterima dan diproses konselor. Proses mendengarkan dapat digambarkan sebagai berikut.




            Penangkapan pesan konseli merupakan proses yang tersembunyi, karena tidak dapat melihat bagaimana dan apa yang diterima konselor. Penerimaan pesan ini akan mengalami kegagalan ketika konselor kurang terampil dalam melakukan attending. Pengolahan pesan prosesnya terjadi tergantung pada kognisi konselor, dan proses terakhir yaitu penyampaian pesan merupakan proses yang tampak karena bisa diamati secara langsung.

            Mendengar merupakan salah satu bagian dari respon. Respon mendengarkan menurut Cormier & Cormier (1985) terdiri atas klarifikasi, parafrase, refleksi, dan rangkuman. Berikut penjelasan secara terperinci.

1.    Klarifikasi
Klarifikasi adalah pertanyaan yang diajukan ketika terdapat pesan dari konseli yang tidak jelas. Klarifikasi bertujuan untuk mendorong elaborasi konseli, memeriksa ketepatan mendengarkan perkataan konseli, dan memberi kejelasan pada pesan-pesan yang masih membingungkan.
    Contoh kalimat klarifikasi.
    “Apakah yang anda maksud?”
    “ Apakah anda mengatakan bahwa....” (dilanjutkan dengan menyatakan kembali  pesan   
       Konseli”

2.    Parafrase
Parafrase adalah pernyataan yang menyatakan kembali konten atau isi dari pesan yang disampaikan konseli. Parafrase ini sangat dibutuhkan karena akan mempermudah konselor untuk memahami ide, perasaan dan menangkap pesan utama dari konseli, dimana hal ini dilakukan dengan konselor menyatakan kembali pesan konseli secara sederhana dan mudah dipahami oleh konseli. Parafrase bertujuan untuk mengatakan kembali kepada konseli bahwa konselor ada bersama dirinya, dan berusaha untuk memahami apa yang dikatakan konseli, mengendapkan apa yang dikatakan konseli dalam bentuk yang ringkas, memberi arah wawancara konseling, dan pengecekan kembali persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan konseli. Parafrase yang baik menyatakan  kembali pesan utama secara sama dengan kalimat yang mudah dan sederhana. 

Parafrase yang baik ditandai oleh suatu kalimat awal yaitu “ adakah”, dan “nampaknya”.
    Contoh kalimat parafrase :
    Contoh 1
    Konseli   : “Biasanya dia selalu senang dengan saya, namun tiba-tiba dia memusuhi saya”
    Konselor :  “ Adakah yang anda katakan bahwa perilakunya tidak konsisten?”
   Contoh 2
   Konseli : “Itu suatu pekerjaan yang baik, akan tetapi saya tidak mengambilnya. Saya tidak   
                    tahu mengapa?”
   Konselor : “ Nampaknya anda masih ragu.”