Dasar
Proses Konseling
Konseling
merupakan suatu hubungan bantuan yang
tidak bersifat “hanya sekali” atau “sekali jadi”., akan tetapi konseling
merupakan suatu proses dimana hubungan ini berjalan atau berkembang secara progresif, yaitu dari tahap
awal hingga tahap akhir. Banyaknya teori
tentang tahapan tentang pelaksanaan proses konseling, secara umum konseling
berjalan melalui tahapan-tahapan berikut. 1) pengembangan hubungan, 2) asesmen,
3) perumusan tujuan, 4) pemilihan dan implementasi teknik atau strategi
intervensi, dan 5) evaluasi, terminasi dan tindak lanjut.
1. Pengembangan hubungan : merupakan tahap awal dari suatu proses
konseling. Pengembangan hubungan dimulai sejak konselor menerima konseli
pertama kali tanpa memperhatikan apakah konseli datang secara sukarela,
berdasar undangan konselor, atau berdasar pada undangan pihak ketiga.
Pengembangan hubungan biasanya disebut sebagai aliansi teraupetik atau
pengembangan rapport. Rapport mengimplikasikan suatu bentuk hubungan yang kondusif atau fasilitatif bagi proses
pemecahan masalah dalam konseling.
Kondisi ini ditandai dengan kesediaan konseli untuk membuka diri. Pada
pengembangan hubungan ini konsistensi sikap dan perilaku konselor merupakan
suatu kualitas yang penting, karena hal ini akan menjadi suatu penilaian
terhadap sikap dan perilaku konselor.
2. Asesmen : tahapan ini konselor
mengumpulkan dan mengolah informasi dengan menggunakan berbagai prosedur dan
alat sebagai dasar untuk memahami konseli. Kompetensi yang dibutuhkan oleh
konselor dalam melakukan asesmen adalah teknik dan prosedur yang pengumpulan
data tes dan non tes serta teknik analisis statistik dan kualitatif. Selain itu
konselor juga perlu memiliki pengetahuan yang baik tentang berbagai perspektif
teoritis tentang perilaku dan gangguan perilaku agar dapat mengembangkan
hipotesis masalah konseli dengan tepat. Proses asesmen melibatkan beberapa
ketrampilan khusus, termasuk didalamnya observasi, inkuiri, menghubungkan
antara fakta-fakta, merekam informasi, dan mengembangkan hipotesis.
3.
Perumusan tujuan : tahapan ini merupakan
tahap merepresentasikan apa yang diharapkan konseli dari proses konseling
sekaligus arah proses konseling. Konselor diwajibkan memiliki tiga keterampilan
dalam membantu konseli untuk dapat menentukan tujuan dari pelaksanaan
konseling. Tiga keterampilan tersebut adalah sebagai berikut a)keterampilan inferensial yaitu
kemampuan untuk dapat menangkap dengan jelas pesan-pesan konseli dan kemudian
memikirkan sikap dan perilaku alternatif, hal ini dapat dilakukan walaupun ketika
konselor juga mendengarkan konseli mengutarakan permasalahannya, b) kemampuan
untuk mendeferensiasikan, yaitu kemampuan untuk membedakan antara tujuan jangka
panjang, menengah, dan pendek. Serta c) keterampilan yang ketiga adalah
kemampuan untuk membantu konseli agar dapat berpikir secara realistik dalam
menetapkan tujuan-tujuan. Realistik disini bermakna tujuan tersebut garus dapat
dicapai konseli, dimana konseli dalam hal ini harus memiliki sumber internal
dan eksternal yang memungkinkan dalam pencapaian tujuan. Pencapaian tujuan juga
harus dinyatakan secara spesifik dalam
bentuk perilaku operasional.
4. Pemilihan dan implementasi teknik atau
strategi intervensi : Pada tahapan ini konselor
harus dapat berpikir secara obyektif guna menemukan strategi yang
efektif dan tidak kaku, bahkan memaksakan dengan preferensi teoritiknya.
Pemilihan strategi ini dilakukan berdasarkan karakteristik permasalahan
konseli.
5.
Evaluasi, terminasi dan tindak lanjut : tahap
terakhir adalah evaluasi yaitu melakukan asesmen terhadap keefektifan
intervensi, baik dalam proses maupun hasil. Evaluasi ini akan sangat membantu
dalam menentukan kapan konseling akan diakhiri dan direncanakan strategi baru
bila strategi yang awal tidak efektif dalam membantu konseli untuk
menyelesaikan masalahnya.
Proses
konseling akan dapat berjalan dengan baik, maka konselor sebagai pelaksana harus memiliki keterampilan konseptual (penguasaan
teori-teori), keterampilan interpersonal, dan keterampilan teknis.
Karakteristik konselor sangat memberikan pengaruh pada
keefektifan proses konseling. Eisenberg dan Delaney (1977) mengemukakan
ciri-ciri konselor yang efektif sebagai berikut.
1.
Terampil mendapatkan keterbukaan.
2.
Dapat membangkitkan rasa percaya,
kredibilitas, dan keyakinan dari konseli.
3.
Mampu menjangkau wawasan yang lebih
luas.
4.
Berkomunikasi dengan hati dan menghargai
orang yang dibantu (konseli)
5.
Memiliki penghargaan terhadap dirinya
sendiri dan tidak menyalahgunakan konseli untuk memuaskan kebutuhan pribadinya.
6.
Mempunyai pengetahuan dalam bidang keahlian
yang dimiliki oleh konseli.
7.
Senantiasa berusaha memahami tingkah
laku konseli, bukan menghakimi.
8.
Memiliki penalaran dan pola pikir yang
sistematis.
9.
Berpandangan mutakhir dan mempunyai
wawasan tentang peristiwa kehidupan.
10.
Mampu mengidentifikasi pola tingkah laku
yang merusak diri dan membantu konseli merubahnya menjadi pola tingkah laku
yang memuaskan.
11.
Terampil membantu konseli agar dapat
memahami diri.
Kondisi
yang memfasilitasi hubungan konseling
agar dapat mengefektifkan proses konseling adalah
1.
Empati : kemampuan untuk memahami individu dari kerangka acuan individu
tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menunjukkan empati
verbal yaitu: menunjukkan keinginan
untuk memahami, membicarakan apa yang penting bagi konseli, menggunakan respon
verbal yang berkenaan dengan perasaan
konseli, serta menggunakan respon verbal untuk menyatakan pesan konseli secara
implisit.
2.
Keaslian atau ketulusan (Genuinesses),
keaslian disini dimaknai sebagai menjadi diri sendiri dan dilaksanakan dengan ketulusan.
Ketulusan terdiri atas lima komponen yaitu perilaku non verbal (kontak mata,
senyuman, dan posisi duduk antara konselor dan konseli), tindakan yang
berkaitan dengan peran atau kedudukan, kongruensi (kekonsistenan antara
kata-kata, tindakan, dan perasaan), spontanitas (kemampuan mengekspresikan diri
secara natural tanpa perilaku yang dibuat-buat), keterbukaan (mampu membuka
diri dan berbagi)
3.
Respek atau penghargaan positif
(Positive Regard), kemampuan untuk menghargai konseli sebagai individu yang
berharga dan bermartabat. Positif regard ini dapat berbentuk komitmen, pemahaman, sikap yang tidak
menghakimi, dan kehangatan merupakan
suatu kedekatan psikologis antara konselor dan konseli yang ditandai
adanya kontak mata, perasaan bersahabat, ramah, mudah tersenyum.
ATTENDING
Attending
merupakan perhatian penuh konselor atau terapis
kepada konseli yang dihadapinya, ditandai oleh adanya keterlibatan
kognitif dan emotif konselor dengan situasi konseling yang tampak berupa
tingkah laku seperti menghadap dan melihat konseli atau mendekati konseli.
(Andi Mappiare A. T, 2006)
Menurut
Carkhuff, attending adalah melayani
secara pribadi yang menekankan
pentingnya konselor untuk menghadapi konseli secara penuh dengan
menghadap secara tepat pada konseli, condong ke depan mengarah pada konseli,
dan mengadakan kontak mata dengan konseli.
Perilaku
attending disebut sebagai perilaku penampilan yang
mencakup komponen kontak mata, bahasa badan, dan bahasa lisan (verbal dan non
verbal). Perilaku attending atau penampilan yang baik merupakan kombinasi
ketiga komponen tersebut akan memudahkan konselor untuk dapat membuat konseli
terlibat pembicaraan dan terbuka. Penampilan yang baik dapat mendorong :
meningkatkan harga diri konseli, menciptakan suasana yang aman, dan dapat
mempermudah ekspresi perasaan konseli dengan bebas.
Perilaku
attending yang baik dan dapat mengefektifkan proses konseling adalah sebagai
berikut :
a.
Kepala : melakukan anggukan ketika
setuju.
b.
Muka
: ekspresi wajah tenang, ceria, dan tersenyum
c.
Posisi tubuh : agak condong ke arah konseli, jarak konselor dan konseli agak
dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
d.
Tangan : Menggunakan gerakan tangan secara
spontan dan berubah-ubah, menggunakan tangan sebagai variasi isyarat, menggunakan
gerakan tangan untuk menekankan ucapan.
e.
Mendengarkan : aktif penuh perhatian,
menunggu ucapan konseli hingga selesai, diam (menanti saat kesempatan
bereaksi), dan perhatian terarah pada lawan bicara.
Sedangkan
penampilan perilaku attending yang tidak baik adalah :
a.
Kepala : kaku
b.
Muka : kaku, ekspresi wajah melamun,
mengalihkan pandangan, tidak melihat saat konseli bicara, dan mata melotot.
c.
Posisi tubuh : tegak kaku, bersandar,
miring, jarak duduk dengan konseli menjauh, duduk kurang akrab dan berpaling.
d.
Mendengarkan : Memutuskan pembicaraan,
berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi kesempatan konseli untuk
berpikir dan berbicara.
e.
Perhatian : terpecah, mudah buyar oleh
gangguan dari luar.
Perilaku
attending yang ditampilkan konselor akan
mempengaruhi kepribadian konseli, yaitu:
1.
Meningkatkan harga diri konseli.
2.
Perilaku attending dapat menciptakan suasana aman bagi konseli.
3.
Memberikan keyakinan kepada konseli
bahwa konselor adalah tempat dia mudah untuk mencurahkan segala isi hati dan
perasaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar